(iainfmpapua.ac.id) – Data BPS dan KPPA tahun 2005-2019 menunjukkan bahwa Papua tercatat sebagai salah satu provinsi dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak tinggi dibanding provinsi lain di Indonesia. Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Sosial, Kependudukan dan Perlindungan Anak Provinsi Papua, Josefint Braundame Wandosa, S.E., M.Si menyampaikan hal ini dalam Seminar dengan tema ‘Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus’ yang digelar Pusat Studi Gender dan Anak Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PSGA LPPM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Fattahul Muluk Papua di aula kampus, Jalan Merah Putih, Buper Waena, Kota Jayapura, 25 Mei 2023.
“Ini menyebabkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah, dimana kekerasan menjadi kontribusi terbesar menyebabkan sulit akses pendidikan, kesehatan, informasi, dan lainnya,” paparnya. Kekerasan merupakan pelanggaran HAM. “Pelanggaran HAM bukan hanya berupa tindak kekerasan secara fisik saja, contoh lain seorang ibu tidak memberi ASI kepada anaknya secara sengaja itu melanggar hak asasi anak,” tuturnya. Kekerasan terjadi tidak memandang agama, jenis kelamin, pendidikan, posisi jabatan, penghasilan, dan suku bangsa. “Semua kalangan bisa menjadi pelaku dan korban oleh siapa saja, dimana saja, kapan saja, baik individu, kelompok dan perusahaan,” ujarnya.
Menurutnya dalam menangani tindak kekerasan seksual ini PSGA IAIN Papua harus memiliki data korban yang mengadu. “Lalu memahami aturan terkait HAM dan juga tindak kekerasan seksual, selain itu pihak kampus juga harus memiliki SOP cara melakukan penanganan tersebut seperti mengajukan laporan aduan melalui PSGA atau unit lain, bagaimana cara penanganannya, bagaimana mendampingi dan sebagainya,” tuturnya.
Pemateri lain, Kepala PSGA UIN Alaudin Makassar, Dr. Rosmini, SAg., M.Th.I menjelaskan bahwa tingginya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi berkaitan degan power relation yang tidak seimbang. “Antar senior dan junior, hingga dosen dan mahasiswa serta kurangnya sosialisasi baik bagi korban dan pelaku sehingga mereka tidak mengenali bentuk-bentuk pelecehan seksual,” ujarnya. Kekerasan seksual di kampus sebagai persoalan individu dan belum adanya lembaga layanan kampus yang menangani kasus kekerasan seksual juga berkontribusi terhadap tingginya kasus pelecehan seksual di kampus. “Serta pelaku yang tidak menerima sanksi yang tegas,” imbuhnya. Berdasarkan Undang-Undang PPKS yang sudah disahkan saat ini, pelaku kekerasan seksual sudah bisa masuk tindak pidana bukan lagi sebatas pelanggaran etik. “Ranah kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, seperti di rumah, komunitas, karenanya kita harus bisa mengenali dimana potensi-potensi terjadinya kekerasan seksual agar bisa memproteksi diri,” terangnya.
Dalam sambutan sebelumnya, Wakil Rektor I (Warek I), Dr. H. Talabudin Umkabu, M.Pd berpesan bahwa pihak kampus berkomitmen untuk mencegah segala bentuk tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. “Dengan adanya PSGA ini berperan secara strategis dalam rangka untuk menjaga warga kampus, baik itu mahasiswa, dosen dan tendik agar tidak menjadi korban maupun pelaku tindak kekerasan seksual,” pungkasnya.
Kepala PSGA IAIN Fattahul Muluk Papua, Nining Puji Lestari, M.Pd menerangkan bahwa tema kegiatan ini berawal dari banyaknya berita di media terkait sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. “Diharapkan kegiatan ini bisa memberikan kesadaran baik bagi pendidik, mahasiswa dan pegawai kampus untuk bersama dalam menyebarkan pesan-pesan pencegahan, kampanye ataupun strategi penanggulangan kekerasan sesksual di lingkungan kampus IAIN Fattahul Muluk Papua,” tuturnya.
Seminar ini dihadiri oleh seluruh mahasiswa, pejabat, dosen, anggota Dharma Wanita Persatuan dan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Abepura dan Heram. (Za/Is/Zul/Her/Ran)