(iainfmpapua.ac.id) – Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Fattahul Muluk Papua, Prof. Dr. H. Idrus Alhamid, S.Ag, M.Si menyampaikan pentingnya memahami moderasi beragama dalam bidang pendidikan. “Moderasi beragama harus dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang budayanya majemuk, yang menyebabkan adanya perbedaan pemahaman terkait istilah moderasi beragama itu,” ujarnya dalam Dialog Kebangsaan Moderasi Beragama yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia di Yogyakarta, 30 Maret 2022.
Menurutnya, hadirnya tri dharma perguruan tinggi dengan kegiatan pengabdian masyarakat dapat menjawab fenomena yang ada. “Sebagai contoh fenomena radikalisme, bisa ditangani melalui bidang pendidikan dengan cara melakukan kegiatan akademik yang berhubungan dengan ideologi negara, sehingga bisa membuka wawasan mahasiswa dalam memaknai perbedaan,” terangnya. Selain itu, untuk mengubah mindset mahasiswa yang memiliki sifat intoleran harus dilakukan dengan metode pendekatan yang tepat. “Dengan menggunakan metode pendekatan yang bersifat culture, karena mahasiswa cenderung memiliki sifat budaya yang taat pada gurunya, sehingga dapat meminimalisir mindset mahasiswa yang memiliki pemahaman berbeda,” terangnya. Rektor juga menekankan pentingnya menyampaikan konten terkait pentingnya kesatuan bangsa di media sosial. “Bagi content creator dan anak-anak muda yang kreative seharusnya dapat membuat konten-konten yang bersifat membangun persatuan bangsa sehingga dapat mengajak anak muda yang lain untuk turut mengubah mindset intoleran, rasisme, dan sebagainya,” jelasnya.
Dialog dengan topic ‘Penggunaan Media Sosial Dalam Membangun Moderasi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0’ ini menghadirkan berbagai tokoh agama se-Indonesia. K.H Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama Republik Indonesia periode 2014-2019 memaparkan tiga hal yang menjadi tantangan umat beragama dalam menjaga ke-Indonesiaan. “Pertama munculnya fenomena beragama yang justru mengingkari nilai-nilai kemanusiaan, padahal agama hadir untuk memanusiakan manusia,” imbuhnya. Kemudian, fenomena munculnya tafsiran kitab suci dari kelompok-kelompok yang tidak memiliki kompetensi sehingga tafsir-tafsir agama tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan secara keilmuan. “Yang terakhir fenomena orang beragama justru merusak ikatan kebangsaan dan mengancam sendi-sendi berbangsa dan bernegara, dimana atas nama agama mereka menyalahkan Pancasila,” terangnya.
Narasumber ketiga, Ketua PW Fatayat NU DIY, Maryam Fithriati menjelaskan dampak media sosial untuk anak muda dalam penyebaran intoleransi dan juga penyebaran paham radikalisme. “Tipikal anak muda saat ini dalam menggunakan medsos tidak memikiran konten yang ditayangkan akan membahayakan orang lain, sehingga perlu adanya edukasi,” jelasnya. Menurutnya perlu adanya penyampaian yang tepat untuk memberi pemahaman anak muda terkait dampak-dampak negatif dari penggunaan sosmed. “Dengan menggunakan agen-agen yang sebaya dengan kaum muda, dengan cara yang sefrekuensi dengan tipikal anak muda untuk menyampaikan narasi beragama, toleransi, dan kebangsaan, sehingga mereka dapat menangkap pesan yang disampaikan,” pungkasnya.
Dialog Kebangssan ini disiarkan melalui saluran televisi Kompas TV. Dalam keterangannya, BPIP berharap kegiatan ini dapat melahirkan solusi di tengah masyarakat akibat narasi kebencian antar kelompok yang disebar melalui media sosial. Kegiatan ini juga sebagai wadah untuk berbagai ide dan pandangan dari para tokoh agama untuk bisa menghasilkan kesepakatan khususnya etika dalam bermedia sosial. (Za/Is/Zul/Her/Ran)